Jakarta, Hortiindonesia.com
Ekspor tanaman hias ke Jepang sebenarnya lebih mudah dibanding produk pertanian lain untuk pangan. Karena fungsinya untuk jiwa bukan makanan ,maka hanya tunduk pada UU Perlindungan Tanaman yang menjadi wewenang Kementerian Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Jepang. Sedang untuk produk pertanian pangan juga harus tunduk UU Keamanan Pangan Dasar, UU Sanitasi Pangan, UU Promosi Kesehatan, UU terkait standarisasi pertanian dan UU label pangan yang merupakan kewenangan Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang. Sri Nur yanti, Atase Pertanian KBRI Tokyo menyatakan hal ini.
Tanaman hias (florikultura) termasuk komoditas yang tidak perlu didahului kesepakatan antar pemerintah (G2G), bisa langsung diekspor (B2B). Beda dengan Pangan Segar Asal Tumbuhan (PSAT) yang menjadi inang organisme hama penyakit tumbuhan karantina pertanian yang dicegah masuk dan penyebarannya seperti mangga, alpukat, buah naga, manggis. Prosedurnya sangat panjang dan lama sebelum diizinkan masuk ke Jepang.
Hal yang sangat penting untuk ekspor ke Jepang adalah dipenuhi aspek tracebility (ketelurusan) . Prosedur karantina untuk tanaman hias berupa tanaman hidup adalah harus diperiksa di lokasi budidaya dan deklarasi bebas OPT dalam bentuk sertifikat fitosanitari. Sedang dalam bentuk bunga potong tidak harus melewati proses ini cukup sertifikat fitosanitari saja.
Masalahnya pada bulan November lalu ditemukan nematoda Radoppholus similis pada anthurium asal Cianjur yang diekspor ke Jepang. Akibatnya Jepang menghentikan impor dari Indonesia untuk semua jenis tanaman yang menjadi inang nematode ini sejak 11 November 2020.
Untuk florikultura Pinang (Arecha catechu) , Cedar putih Meksiko (Cupresuss lusitanica), Anthurium, Maranta, Philodendron, Beta dan Bucefalandra Sp. Sedang untuk tanaman non florikultura, ekspor hortikultura yang dihentikan adalah jahe dan kunyit.
“Jepang sangat takut pada nematode Radoppholus similis ini karena bisa mempengaruhi keaneka ragaman hayati di sana. Sertifikat fitosanitari untuk semua PST inang nematoda ini juga tidak diakui lagi selama belum ada perbaikan. Semua tanaman yang masuk akan dimusnahkan,” katanya.
Syarat perbaikannya adalah sebelum ditanam, media tanam atau tanahnya harus dipastikan dulu bebas nematoda ini juga bagian bawah tumbuhan diperiksa. Selama penanaman di wilayah yang belum diketahui atau sudah diketahui ada nematode Radoppholus similis wajib melakukan pemberantasan. Sebelum ekspor wajib diperiksa dengan pemeriksaan nematologis dan deklarasikan bebas dengan sertifikat fitosanitari.
Badan Karantina Pertanian sudah mengajukan perbaikan berupa metoda ultrasonografi untuk ekstraksi dan hot treatment. Saat ini Badan Karantina masih terus berdiskusi dengan otoritas karantina Jepang untuk mencari jalan keluar. Nanti kalau ekspor sudah diizinkan kembali maka bila selama ini pemeriksaan hanya akar saja, nanti bila ada maka akar, batang, daun, bunga, biji juga akan diperiksa.
Saat ini menurut Sri Nuryanti yang harus diperbaiki adalah aspek tracebility. Pertanyaan soal j Radoppholus similis pada kunyit asal Kalimantan dan jahe asal Bandung belum bisa dijawab, membuktikan masih lemahnya aspek ini.
“Jadi sekarang kalau tujuannya untuk ekspor maka sejak awal harus ada dokumen penyiapan lahan/media tanam, bibit, penanaman dan pemeliharaan, panen, pasca panen, penyimpanan. Jadi bila ada kasus maka pemerintah akan mudah berhadapan dengan pemerintah Jepang,” katanya.