Jakarta, hortiindonesia.com - Melonjaknya harga cabai sejak awal Juni lebih disebabkan oleh produktivitas pertanaman yang menurun sebagai dampak cuaca ekstrim dengan intensitas curah hujan yang masih tinggi di sepanjang tahun sejak Oktober 2021 hingga Juni 2022 . Berdasarkan data BMKG, curah hujan pada periode April-Mei 2022 cenderung lebih tinggi dibandingkan periode April-Mei 2021. Hal ini secara tidak langsung menyebabkan peningkatan serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) Phytophthora, spp penyebab penyakit busuk daun pada cabai, dan juga penyakit antraknosa. Namun, bukan berarti tidak ada produksi, hanya saja terdapat penurunan luas tambah tanam maupun terdapat kerusakan tanaman akibat kondisi cuaca yang ekstrem.
Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto memaparkan, "Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, serangan OPT pada bulan Mei 2022 terbanyak adalah Antraknosa seluas 851,72 Ha, Phytophthora seluas 204,87 ha dan layu Fusarium seluas 64,35 Ha. Serangan antraknosa yang masif juga membuat kualitas buah menurun. Kehilangan hasil yang diakibatkan oleh Antraknosa berkisar antara 20 – 90 % (Sumber : Info Teknologi Litbang Kementan 11 Juli 2016), sehingga mendorong petani untuk memanen buah sebelum waktunya. Hal ini berdampak pada ketersediaan cabai di pasar khususnya yang berwarna merah berkurang."
Sesuai dengan arahan Mentan Syahrul Yasin Limpo agar Kementan menjamin ketersediaan komoditas pangan strategis, pria yang akrab disapa Anton ini selalu menggerakkan seluruh jajarannya untuk memonitor kondisi pertanaman cabai di lapangan dan melakukan upaya-upaya untuk meredam gejolak harga agar tidak berkepanjangan.
"Ditjen Hortikultura sudah menyiapkan langkah-langkah strategis untuk mengatasi gejolak harga cabai ini serta mengamankan pasokan cabai nasional. Sejak tahun 2020, Pemerintah sudah menyiapkan Early Warning Sistem (EWS) untuk mengantisipasi kerawanan produksi. Pemerintah juga menyediakan bantuan saprodi dan benih untuk pengembangan kawasan dengan fokus pada daerah pengembangan/defisit melalui program kampung hortikultura. Selain itu, Pemerintah juga memberikan bantuan biaya distribusi dari daerah surplus ke daerah defisit saat terjadi gejjolak harga " papar Anton.
Terkait kondisi cuaca ekstrem yang menyebabkan rusaknya pertanaman cabai di beberapa wilayah, Anton pun menegaskan bahwa jajarannya telah berupaya untuk melakukan langkah preventif untuk mengatasi serangan OPT yang menyerang tanaman cabai. "Setiap tahun, Ditjen Hortikultura selalu mengadakan bimtek budidaya cabai ramah lingkungan yang kita laksanakan di seluruh wilayah Indonesia, tentu saja tujuannya agar para petani kita bisa memelihara tanamannya agar lebih baik lagi. Yang namanya kondisi cuaca itu berkah dari Tuhan, tentunya tidak bisa kita lawan. Oleh karena itu, kita harus berupaya untuk menjaga tanaman lebih baik lagi. Jika nutrisi tanaman tercukupi, pastinya tanaman akan lebih kuat dan tahan dari serangan hama penyakit," jelas Anton.
Untuk mengatasi pertanaman yang sudah mengalami kerusakan, Pemerintah sudah menyiapkan gerakan pengendalian (gerdal) OPT cabai seluas 1.192 Ha . Selain itu, Pemerintah juga sudah menyiapkan KUR horti/cabai untuk modal awal budidaya dengan bunga ringan agar petani dapat memulai kembali kegiatan budidaya cabainya.
Agar masyarakat lebih mudah memperoleh cabai, Kementan juga sudah menyediakan Pasar Tani dan TTIC untuk mendekatkan produsen ke konsumen. Selain itu, saat ini sedang disiapkan platform e-commercenya untuk pemasaran produk hortikultura secara online. "Produk hortikultura yang tersedia di Pasar Tani dan TTIC ini kita ambil langsung dari para petani. Jadi tentu harganya bisa lebih murah dibandingkan di pasar eceran. Jangan ragu lagi, ayo Kita belanja kebutuhan pangan di Pasar Tani dan TTIC. Harga murah, kualitas tetap utama," tutup Anton.