Jember, Hortiindonesia.com
PT Mitra Tani 27, anak perusahaan PTPN X yang berlokasi di Jember , Jawa Timur merupakan eksportir kedelai Edamame ke Jepang. Pasar Jepang sangat ketat dalam persyaratan ekspor pangan dan bisa dipenuhi oleh Mitra Tani.
Menurut Subhan Ariyadi, General Manager Keuangan dan Umum Mitra Tani , ekspor kedelai Edamame in membuka pintu masuk sayur jenis lain. Saat ini Jepang minta okra, sayuran buah yang masih satu family dengan oyong, yang berserat sangat tinggi dan berlendir.
Mitra Tani merespon permintaan ini dengan memproduksi okra. Persyaratan ekspor okra ini jauh lebih ketat dari kedelai edamame, sehingga Mitra Tani membudidayakan sendiri dengan menyewa lahan milik petani.
Pada edamame, Mitra Tani punya dua pola yaitu melakukan budidaya sendiri dan bermitra dengan petani. Pada kemitraan, Mitra Tani memasok benih dan pestisida kepada petani. Budidaya dikontrol ketat oleh perusahaan, ketika panen semua produk dibeli oleh perusahaan. Biaya benih dan pestisida dipotong dari hasil panen.
Permintaan lainnya adalah sweet potato. Budidaya ubi rambat ini relatif lebih sederhama sehingga dilakukan bermitra dengan petani. Jepang juga minta terong goreng tetapi saat ini belum bisa dipenuhi oleh Mitra Tani karena dulu syarat pengolahannya sangat ketat (harus digoreng salad oil) juga fasilitas pengolahan harus terpisah dari edamame.
Mitra Tani sedang melakukan penjajakan untuk memenuhi persyaratan ekspor terong ini. Budidaya terong relatif tidak susah sehingga bisa dimitrakan dengan petani. Mitra Tani hanya akan membuat tempat penggorengan di lokasi budidaya terong milik petani. Jepang sekarang sudah melonggarkan persyaratan sehingga bisa digoreng menggunakan minyak sawit.
Kendalanya adalah harus membangun pabrik pembekuan yang terpisah dengan pembekuan edamame, okra, sweet potato. Edamame dan okra dibekukan setelah direbus sedang terong setelah melewati proses penggorengan. Tempat pembekuan tidak bisa sama sebab terong akan menyisakan residu minyak goreng. Investasi pabrik pembekuan ini tinggi, sampai Rp70 miliar rupiah.
“Sebenarnya sampai saat ini kita belum mampu memenuhi permintaan edamame, okra dan sweet potato dari Jepang. Kendalanya adalah kapasitas pabrik harus ditingkatkan. Pabrik juga harus dekat kebun sebab seperti edamame sejak petik maksimal 8 jam harus sudah beku,” katanya.
Kemitraan dengan petani juga menghadapi kendala. Jepang sangat menekankan tracebility sehingga apa yang dilakukan petani harus terdata dengan baik. Petani harus mencatat kapan tanam, kapan dipupuk, menggunakan pupuk apa, kapan disemprot pestisida, pestisida apa yang digunakan, kapan panen dan lain-lain.
Petani yang ikut dalam kemitraan ini harus merubah pola pikirnya menjadi industrialis, karena berkaitan dengan kapasitas pabrik. Karena itu harus diatur dengan ketat.
“Kalau kami tidak ketat maka bisa saja pabrik kekurangan kapasitas produksi. Banyak petani belum terbiasa dengan hal ini. Mereka menganggap terlalu ribet sehingga enggan ikut kemitraan. Akhirnya kita memilih menyewa saja lahan mereka sedang budidaya sepenuhnya kita kerjakan sesuai SOP perusahaan,” katanya.