Bogor, Hortiindonesia.com
Cabai merupakan salah satu komoditas strategis. Cabai seringkali berandil pada laju inflasi, kebutuhan masyarakat yang cukup tinggi dan fluktuatif terhadap cabai mendorong terjadinya dinamika harga dan kadang gejolak sosial di masyarakat. Kebutuhan cabai oleh masyarakat sering tak terpenuhi, mengingat produksi cabai yang relatif rendah, dan hanya 60-70%-nya saja yang dapat dimanfaatkan. Beberapa kajian menunjukkan bahwa 38-44% hasil panen cabai rusak/tercecer dan tidak dapat dimanfaatkan. S Joni Munarso, Profesor Riset Balai Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian menyatakan hal ini.
Kehilangan hasil cabai ini terjadi di sepanjang rantai pasok, yaitu sejak pemetikan buah cabai, penanganan saat panen, pengangkutan hasil, pengemasan, hingga transportasi ke pasar. Bahkan di pasar pun terjadi kehilangan hasil akibat cara retail yang kurang benar. Kejadian kehilangan hasil cabai umumnya terjadi akibat penguasaan teknologi yang kurang mumpuni di tingkat pelaku dan kurangnya intensitas pendampingan usaha tani cabai. Di beberapa sentra produksi memang ditemukan petani Champion yang diharapkan menjadi panutan dalam berusaha tani, namun nampaknya orientasi tokoh setempat ini masih terbatas pada sistem pemasaran dan lebih berfungsi sebagai narahubung kegiatan operasi pasar dan sebagainya. Muatan pembinaan pascapanennya masih sangat terbatas.
Tingginya tingkat kehilangan hasil cabai boleh jadi juga disebabkan oleh keterbatasan infrastruktur usaha tani. Jalan desa merupakan prasarana usaha tani yang sangat diharapkan ada dan dalam keadaan yang memadai, dalam arti memudahkkan dan melancarkan proses pengangkutan maupun distribusi. Penerapan teknologi juga membutuhkan dukungan daya listrik yang cukup, misalnya pada proses penyimpanan dingin, maupun perlakuan sortasi dan desinfektasi cemaran mikroba.
Upaya reduksi tingkat kehilangan hasil cabai ini sangat diperlukan adanya. Pengabaian terhadap masalah ini menyebabkan upaya pemenuhan kebutuhan cabai hanya mengandalkan pada pendekatan pra-panen, yang sejauh ini hanya menyuplai 30% dari kebutuhan konsumsi. Implikasi lain bisa berupa hilangnya potensi pendapatan petani dan kesejahteraan petani yang tak kunjung meningkat.
Cabai yang menjadi salah satu komoditas strategis nasional (menyumbang PDB 49 Triliun Rupiah, 2015) sepatutnya mendapat perhatian yang cukup untuk pengembangan produksi /ketersediaannya, termasuk melalui pendekatan kehilangan hasil panen yang cukup besar. Dukungan sarana prasarana pascapanen, sarana prasarana pengolahan, dan fasilitasi penerapan jaminan mutu hortikultura untuk peningkatan kualitas dan pengurangan losses panen yang pernah diberikan oleh Ditjen Hortikultura pada tahun 2015-2019 selayaknya dilanjutkan dan diselaraskan dengan dinamika usaha tani yang ada.
Telaah khusus pada pedoman pelaksanaan penanganan pascapanen cabai, Permentan 44/2009, tampak bahwa konten teknologinya perlu penyesuaian dengan perkembangan teknologi. Pedoman tersebut juga belum memperhatikan sistem kelembagaan yang ada.
Keberhasilan penekanan kehilangan hasil cabai atau komoditas pertanian pada umumnya sangat dipengaruhi oleh tipikal rantai pasok, ketersediaan dan penguasaan teknologi, motivasi dan kelembagaan petani, pendampingan usaha, dukungan infrastuktur wilayah, dan keuntungan/insentif yang diperoleh pelaku usaha. Beberapa hasil riset menunjukkan potensi teknologi dan kelembagaan sebagai pendekatan yang bisa diterapkan untuk mereduksi kehilangan hasil.
Semakin panjang sebuah rantai pasok, semakin besar peluang kehilangan hasil. Sebuah pengamatan lapang di Magelang menunjukkan bahwa kehilangan hasil paling tinggi pada rantai pasok terjadi di pengumpul besar dan pedagang pengecer, yaitu secara berturut-turut sebesar 8,67% dan 6,93%. Penyederhanaan rantai pasok (dari petani ke pengumpul besar dan langsung ke pasar) yang dikombinasikan dengan perbaikan cara panen serta wadah angkut berupa krat plastik mampu mengurangi kehilangan hasil pascapanen cabai dari 24,05% menjadi 8.86%.
Ada beberapa teknologi yang dapat diterapkan untuk mereduksi tingkat kehilangan hasil cabai, mulai dari cara petik, penggunaan bagan warna cabai, dan wadah/kemasan panen dengan krat plastik (paket teknologi parsial), hingga penggunaan paket teknologi lengkap, yaitu pencucian cabai dengan air berozon, penggunaan kemasan kardus berperforasi dan penyimpanan serta transportasi dingin. Perlu dilakukan kajian spesifik lokasi untuk menentukan teknologi pascapanen yang akan diterapkan. Penerapan teknologi parsial mungkin lebih dibutuhkan pada satu lokasi atau rantai pasok, sedangkan lokasi dan rantai pasok lain mungkin memerlukan penerapan teknologi secara lengkap. Penerapan teknologi secara parsial menurunkan kehilangan hasil hingga 63%, sedangkan penerapan teknologi secara lengkap menurunkan kehilangan hasil sebesar 77-85%.
Penerapan teknologi membutuhkan sistem manajemen untuk menjamin pengelolaan penerapan teknologi penurunan kehilangan hasil panen dapat berlangsung secara berkelanjutan dengan pemantauan yang memadai. Sistem manajemen ini bertanggung jawab dalam: (a) penentuan permasalahan pada spesifik lokasi sentra produksi, (b) penentuan teknologi sesuai kebutuhan, dan (c) pelibatan berbagai pihak yang berwenang dan berkepentingan, seperti Dinas Pertanian, Ditjen Hortikultura, swasta, dan lainnya. Sistem manajemen yang baik akan memungkinkan pengambilan keputusan dan kebijakan yang dibutuhkan, yaitu untuk: (a) penunjukan penanggung jawab pelaksana pengelolaan dan pelaksanaan kebijakan, (b) penerapan sistem kelembagaan, (c) penyusunan sistem insentif untuk pelaku usaha tani dan rantai pasok, dan (d) perencanaan penghimpunan sumber insentif.