Pada masa pandemi ini permintaan jahe semakin meningkat. “Boleh dikatakan saat ini kebangkitan petani jahe.Tetapi kami tentu tidak berharap pandemi berlanjut. Kesadaran masyarakat mengkonsumsi minuman herbal semakin meningkat dan dalam setiap unsur minuman herbal pasti ada jahe,” kata Prasetyo Widodo, petani jahe dari Banyuwangi.
Prasetyo sendiri menanam jahe sejak tahun 2014, jadi bukan ikut-ikutan karena permintaan sedang tinggi. Bertani dengan luas areal 8 ha, ditanam berbagai jenis jahe, ada jahe merah, jahe emprit dan jahe gajah. Jahe ditumpangsarikan dengan cabai.
“Dari semua jenis jahe itu yang paling mudah pemasarannya adalah jahe gajah karena permintaan ekspornya tinggi. Sekali panen per ha bisa 30-40 ton jahe,” katanya.
Jahe bersifat unik. Bila harga sedang rendah maka petani bisa menunda panen 1-2 bulan bahkan sampai setahun menunggu harga naik. Saat ini harga jahe mencapai Rp20.000/kg. Permintaan jahe sebelum pandemi juga selalu naik tetapi masa pandemi kenaikannya pesat.
“Kita kewalahan kalau harus memenuhi permintaan pasar. Ini barang ditanam bukan buatan pabrik jadi tidak bisa serta merta bisa memenuhi permintaan yang mendadak tinggi,” katanya.
Prasetyo merupakan petani mandiri yang membiayai usaha tani dari modal sendiri. Dia juga tidak menjalin kemitraan dengan perusahaan obat/minuman herbal, meskipun ada penawaran kontrak jual ke pabrik tetapi tidak diambil karena harus memperhitungkan segala sesuatunya dengan cermat.
Menanam jahe relatif mudah, tidak ada hama penyakit, tikus dan babi hutan juga tidak menyukai. Hanya dalam kondis sekarang jahe di kebun menjadi rawan pencurian.
Menanam jahe dari 1 kg bibit menjadi 20 mata tunas. Satu mata tunas menghasilkan setengah kg rimpang jahe, jadi dari 1 kg bibit jadi 10 kg jahe. Per hektar ditanam 40.000 bibit. Tetapi tingkat kematiannya juga relatif tinggi.