Jakarta, Hortiindonesia.com
Kurniadi ihwan, Ketua Umum Asosiasi Kontak Bisnis Hortikultura Indonesia menyatakan ada tiga pilar utama untuk berbisnis hortikultura. Pilar itu adalah produknya harus selalu ada, tidak boleh kosong di pasar. Ini sulit di Indonesia sebab mangga misalnya hanya ada 4 bulan saja. Pada bulan Juni ini sulit didapat, akhir Juni baru banyak.
Kedua harus bernilai komersial supaya bisa laku dijual. Ketiga harus berkelanjutan, kalau tahun ini ekspor mangga misalnya tiap tahun harus melakukan yang sama jangan berhenti di tengah jalan. Untuk mencapai situasi ideal ini maka asosiasi yang anggotanya beragam mulai dari kelompok tani, koperasi, pelaku agrowisata, eksportir dan importir , perusahaan sertifikasi mutu, agen pembayaran, pengolah hortikultura dan lain-lain itu merasa sangat perlu berpatner dengan peneliti dan investor.
Ketua asosiasi yang beranggotakan 753 perkumpulan yang masing-masing perkumpulan 5-20 orang dan berkantor di Depok ini menyatakan meskipun kelapa sawit bukan produk hortikultura tetapi banyak sekali bantuan perusahaan sawit untuk hortikultura seperti lahan dikebun sawit dialokasikan untuk menanam hortkuktura. Sekaran g lewat edible coating malah sawit menjadi penentu suksesnya bisnis hortikultura.
Asosiasi ini bersama pemerintah khususnya Ditjen Hortikultura selalu berusaha meningkatkan produksi dan nilai tambah, menjaga pasokan terutama komoditas strategis seperti cabai, menjaga inflasi , meningkatkan ekspor dan daya saing. Ekspor hortikultura mengangkat derajat ekonomi sebab ada uang masuk dari negara lain.
Karakteristik utama produk buah adalah mudah rusak dan busuk, bersifat musiman dan beberapa buah tertentu hanya bisa ditanam di wilayah khusus.Contohnya Carica yang hanya tumbuh di dataran tinggi Dieng. Kalau ditaman di Malang misalnya maka tidak akan pernah berbuah ataupun kalau berbuah jadi pepaya biasa.
Mencapai target produksi juga susah. Mangga misalnya pemerintah mentargetkan produksi 2,8 juta ton tetapi realisasi hanya 500.000 ton. Dari jumlah itu 30% atau 170.000 ton rusak sehingga yang sampai ke pasar hanya 330.000 ton. Ini merupakan masalah besar bisnis hortikultura yang tidak pernah dibahas.
Pasar buah juga terbagi menjadi tiga. Pertama buahyang penampakan harus bagus sesuai estetika, bagus difoto, harganya mahal seperti sawo raksasa, buah naga kuning. Kedua buah meja yang bagus untuk kesehatan seperti pepaya, pisang, jeruk dan lain-lain. Ketiga buah industri yaitu untuk masuk pabrik diolah lagi, harganya murah. Melon sekarang dengan harga tingkat petani Rp6000 sehingga masuk jadi buah industri sedang konsumen tetap membeli pada pedagang harga Rp16.000.
Umur buah yang sangat pendek disebabkan panen yang tidak benar. Meskipun panen benar tetapi pengakutan dari kebun ke packing house/pengumpul lewat jalan kebun/desa yang rusak menyebabkan buah yang paling bawah rusak.
Transportasi ke pasar dengan truk atau mobil pick up ditutup terpal membuat banyak buah yang rusah di jalan. Di pasar diturunkan dengan cara dilempar maka yang rusah semakin banyak. Perilaku ini membuat loses buah besar sekali.
“Kami membutuhkan kolaborasi dengan peneliti supaya punya solusi. Syukur BPDPKS membiayai penelitian BRIN soal edible coating buah dari minyak sawit ini sehingga kami menemukan solusi permasalahan. Kami sangat berterimakasih pada BPDPKS dan BRIN,” katanya.
Dengan edible coating berbahan minyak sawit sekarang buah bisa dikirim dengan aman tanpa mengalami kerusakan lintas pulau dan ekspor. Jangkauan pengiriman semakin jauh. Carica Dieng misalnya sudah diekspor ke Belanda.
Sudah diaplikasikan untuk pepaya yang tetap segar ketika sampai pedagang buah. Belimbing juga sudah diaplikasikan dan tetap hijau meskipun diperdagangakan antar pulau. Alpukat yang dibutuhkan banyak untuk pasar ekspor juga sampai negara tujuan ekspor tetap terjaga.
“Kami pelaku bisnis mendapatkan manfaat dari hasil penelitian yang bisa diaplikasikan di lapangan. Kedepan kami mengharapkan ada banyak hasil penelitian lain yang membantu kami mendapatkan solusi menghadapi masalah di lapangan,” katanya lagi.